Mengenai Saya

Foto saya
Medan dan Aceh, Sumatera, Indonesia
Kesempurnaan hanya Milik Allah SWT kekurangan ada pada diriku...

Senin, 28 September 2009

David Belajar Berjalan

Liburan Lebaran



Bersama Kak Jihan dan Dek David menikmati liburan Lebaran Idul Fitri 1430 H di Pantai sambil menikmati rujak dan snack dan ada juga wak Lisma dan Mama Nora.

Sabtu, 12 September 2009

Durian Aneh bin Langkah



Durian Aneh – Inilah buah durian yang berhasil menyita perhatian warga Kota Langsa – Aceh, buah durian ini tidak lazim sepertimana buah durian lainnya dikarenakan didalamnya ditemukan sebuah durian dalam ukuran lebih kecil durian diperoleh Biok (50) dari pedagang depan SPBU Harapan. Kota Langsa - Aceh, Foto diambil Minggu, 26/8 siang. (Foto: Amril Nurman)

Buang Angin Karena Sakit tidak membatalkan Sholat

Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al AtsariWudhu sebagai rangkaian ibadah yg tidak dapat dipisahkan dari shalat seorang hamba dapat batal krn beberapa perkara. Hal-hal yg bisa membatalkan ini diistilahkan dalam fiqih Nawaqidhul Wudhu . Wudhu yg telah batal akan membatalkan pula shalat seseorang sehingga mengharuskannya utk berwudhu kembaliNawaqidhul wudhu ini ada yg disepakati oleh ulama krn adanya sandaran dalil dari Al- Qur’an dan As-Sunnah dan telah terjadinya ijma’ di antara mereka tentang permasalahan tersebut. Ada juga yg diperselisihkan oleh mereka keberadaannya sebagai pembatal wudhu ataupun tidak. Hal ini disebabkan tidak adanya dalil yg jelas dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta tidak terjadinya ijma’ sehingga kembalinya perkara ini kepada ijtihad masing-masing ahlul ilmi.Pembatal wudhu yg disepakati1. Kencing Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” Hadits ini menunjukkan bahwa hadats kecil ataupun besar merupakan pembatal wudhu dan shalat seorang dan kencing termasuk hadats kecil.2.Buang Air BesarAllah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat wudhu ketika menyebutkan perkara yg mengharuskan wudhu :أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغآئِطِ“Atau salah seorang dari kalian kembali dari buang air besar…” Dengan demikian bila seseorang buang air besar batallah wudhunya.3. Keluar angin dari dubur Angin yg keluar dari dubur membatalkan wudhu sehingga bila seseorang shalat lalu kentut maka ia harus membatalkan shalatnya dan berwudhu kembali lalu mengulangi shalatnya dari awal.Abdullah bin Zaid bin ‘Ashim Al-Mazini radhiallahu ‘anhu berkata: “Diadukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seseorang yg menyangka dirinya kentut ketika ia sedang mengerjakan shalat. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:لاَ يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيْحًا“Jangan ia berpaling sampai ia mendengar bunyi kentut tersebut atau mencium baunya.” Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ“Allah tidak menerima shalat salah seorang dari kalian jika ia berhadats sampai ia berwudhu.” Mendengar penyampaian Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu ini berkatalah seorang lelaki dari Hadhramaut: “Seperti apa hadats itu wahai Abu Hurairah?” Abu Hurairah menjawab “Angin yg keluar dari dubur yg bunyi maupun yg tidak bunyi.”Sementara perkataan Abu Hurairah ini dijelaskan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah beliau berkata: “Abu Hurairah menjelaskan tentang hadats dgn perkara yg paling khusus sebagai peringatan bahwa angin dari dubur ini adl hadats yg paling ringan sementara di sana ada hadats yg lbh berat darinya. Dan juga karena angin ini terkadang banyak keluar di saat seseorang melaksanakan shalat tidak seperti hadats yg lain.” Hadits ini dijadikan dalil bahwa shalat seseorang batal dgn keluarnya hadats sama saja baik keluarnya dgn keinginan ataupun terpaksa. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: Salma maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau istrinya Abu Rafi‘ maula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia mengadukan Abu Rafi’ yg telah memukulnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya kepada Abu Rafi’: “Ada apa engkau dgn Salma wahai Abu Rafi‘?” Abu Rafi‘ menjawab “Ia menyakitiku wahai Rasulullah.” Rasulullah bertanya lagi: “Dengan apa engkau menyakitinya wahai Salma?” Kata Salma: “Ya Rasulullah aku tidak menyakitinya dgn sesuatupun akan tetapi ia berhadats dalam keadaan ia sedang shalat maka kukatakan padanya: ‘Wahai Abu Rafi‘ sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kaum muslimin apabila salah seorang dari mereka kentut ia harus berwudhu.’ Abu Rafi‘ pun bangkit lalu memukulku.” Mendengar hal itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa seraya berkata: “Wahai Abu Rafi‘ sungguh Salma tidak menyuruhmu kecuali kepada kebaikan.” {HR. Ahmad 6/272 dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’ush Shahih 1/521}Adapun orang yg terus menerus keluar hadats darinya seperti penderita penyakit beser atau orang yg kentut terus menerus atau buang air besar terus menerus maka ia diberi udzur di mana thaharahnya tidaklah dianggap batal dgn keluarnya hadats tersebut. 4. Keluar MadziKeluarnya madzi termasuk pembatal wudhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Ali berkata: “Aku seorang yg banyak mengeluarkan madzi namun aku malu utk bertanya langsung kepada Rasullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam krn keberadaan putrinya yg menjadi istriku. Maka akupun meminta Miqdad ibnul Aswad radhiallahu ‘anhu utk menanyakannya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawabيَغْسِلُ ذَكَرَهُ وَيَتَوَضَّأُ“Hendaklah ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” {HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no.

303}5. Keluar WadiKeberadaan wadi sama halnya dgn madzi atau kencing sehingga keluarnya membatalkan wudhu seseorang.6. Keluar Darah Haid dan NifasDarah haid dan nifas yg keluar dari kemaluan seorang wanita adl hadats besar yg karenanya membatalkan wudhu wanita yg bersangkutan. Dalilnya adl hadits Abu Hurairah di atas tentang batalnya wudhu krn hadats. Dan selama masih keluar darah haid dan nifas ini diharamkan baginya mengerjakan shalat puasa dan bersenggama dgn suaminya sampai ia suci.Dikecualikan bila darah dari kemaluan itu keluar terus menerus di luar waktu kebiasaan haid dan bukan disebabkan melahirkan seperti pada wanita yg menderita istihadhah krn wanita yang istihadhah dihukumi sama dgn wanita yg suci sehingga ia tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus keluar. Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Bila si wanita yang menderita istihadhah itu ingin berwudhu utk shalat hendaknya ia mencuci terlebih dahulu kemaluannya dari bekas darah dan menahan keluarnya darah dgn kain.” {Risalah fid Dima’ Ath-Thabi’iyyah Lin Nisa hal. 50}7. Keluarnya ManiSeseorang yg keluar maninya wajib baginya mandi tidak cukup hanya berwudhu krn dengan keluarnya mani seseorang dia dihukumi dalam keadaan junub/ janabah yg berarti dia telah hadats besar. Berbeda dgn kencing BAB keluar angin keluar madzi dan wadi yg merupakan hadats kecil sehingga dicukupkan dgn wudhu.8. Jima’ Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:إِذَا جَلَسَ بَيْنَ شُعَبِهَا الأَرْبَعِ، ثُمَّ جَهَدَهَا، فَقَدْ وَجَبَ الْغُسْلُ“Apabila seorang suami telah duduk di antara empat cabang istrinya kemudian dia bersungguh- sungguh padanya maka sungguh telah wajib baginya utk mandi .” Dalam riwayat Muslim ada tambahan:وَإِنْ لَمْ يُنْزِلْ“Sekalipun ia tidak keluar mani.”Dari hadits di atas kita pahami bila jima‘ sekalipun tidak sampai keluar mani menyebabkan seseorang harus mandi sehingga jima‘ perkara yg membatalkan wudhu.Pembatal wudhu yg diperselisihkanDalam masalah fiqhiyyah baik itu fiqh ibadah ataupun fiqh muamalah sering sekali kita dapati perselisihan di antara ahlul ilmi. Hal ini disebabkan tersamarnya dalil yg jelas dalam pengetahuan mereka baik dari Al-Qur’an ataupun dari hadits dan krn satu keadaan dimana masing-masing mereka harus berijtihad terhadap permasalahan yg ada sehingga timbullah beragam pandangan. Permasalahan ini sebetulnya bukan permasalahan yg baru krn sejak zaman sahabat kita dapati mereka berselisih dalam beberapa masalah fiqhiyyah dan diikuti oleh zaman setelahnya dari kalangan para imam. Walaupun kita dapati mereka berselisih dalam berbagai permasalahan namun mereka terhadap satu dgn yg lainnya saling berlapang dada selama perkara itu bukanlah perkara yg ganjil yg menyelisihi pendapat yg ma‘ruf walaupun juga dalam banyak permasalahan kita dapati mereka bersepakat di atasnya.Demikianlah yg ingin kami utarakan sebelum masuk ke dalam masalah yg diperselisihkan di sini yg mana mungkin penulis berbeda pandangan dalam menguatkan satu permasalahan dengan pembaca sehingga bila didapati hal yg demikian hendaknya kita berlapang dada.

Tentunya dgn tidak menolak pandangan yg ada selama itu adl ma’ruf di kalangan ahlul ilmi salafus shalih. Mungkin penulis memberikan contoh waqi‘iyyah yg penulis sendiri mengalaminya . Suatu ketika penulis shalat berdampingan dalam satu shaf dgn guru kami Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muqbil rahimahullah. Pada waktu itu penulis berpandangan menggerak-gerakkan jari dalam tasyahud krn memilih pendapat tahrik sesuai dgn pendapat yg ma’ruf. Sementara guru kami adl orang yg sangat keras melemahkan hadits dalam masalah tahrik ini dan memandangnya syadz . Namun selesai shalat beliau rahimahullah tidak memaksakan pendapatnya kepada penulis dalam keadaan beliau berkuasa utk memaksa dan melakukan penekanan. Bahkan yang ada dalam berbagai majelis beliau berbangga dgn keberadaan murid-muridnya yg tidak taqlid kepada beliau tapi berpegang dgn dalil sekalipun harus berbeda pandangan dgn beliau rahimahullah rahmatan wasi‘atan.1. Menyentuh wanitaAhlul ilmi terbagi dalam dua pendapat dalam menafsirkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ“Atau kalian menyentuh wanita …” Pertama: sebagian mereka menafsirkan “menyentuh” dgn jima’ seperti pendapat Ibnu ‘Abbas ‘Ali ‘Ubay bin Ka’b Mujahid Thawus Al-Hasan ‘Ubaid bin ‘Umair Sa’id bin Jubair Asy-Sya’bi Qatadah dan Muqatil bin Hayyan. Kedua: ahlul ilmi yg lain berpendapat “menyentuh” di sini lbh luas/ umum daripada jima’ sehingga termasuk di dalamnya menyentuh dgn tangan mencium bersenggolan dan semisalnya. Di antara yg berpendapat seperti ini adl Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Umar dari kalangan shahabat. Abu ‘Utsman An-Nahdi Abu ‘Ubaidah bin Abdillah bin Mas’ud ‘Amir Asy- Sya’bi Tsabit ibnul Hajjaj Ibrahim An-Nakha’i dan Zaid bin Aslam. Adapun pendapat pertama bila seseorang menyentuh wanita dgn tangannya atau dgn seluruh tubuhnya selain jima’ maka tidaklah membatalkan wudhu.Sedangkan pendapat kedua menunjukkan sekedar menyentuh wanita walaupun tidak sampai jima’ membatalkan wudhu.Dari dua penafsiran di atas yg rajih adl penafsiran yg pertama bahwa yg dimaksud dengan menyentuh dalam ayat di atas adl jima’ sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam Al- Qur’an sendiri1 dan juga dalam hadits-hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg menunjukkan bahwa semata-mata bersentuhan dgn wanita tidaklah membatalkan wudhu.Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Yang dimaukan {oleh ayat Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini} adl jima’ sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma dan selainnya dari kalangan Arab. Dan diriwayatkan hal ini dari ‘Ali radhiallahu ‘anhu dan selainnya.

Inilah yg shahih tentang makna ayat ini. Sementara menyentuh wanita sama sekali tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yg menunjukkan bahwa hal itu membatalkan wudhu. Adalah kaum muslimin senantiasa bersentuhan dgn istri-istri mereka namun tidak ada seorang muslim pun yg menukilkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau memerintahkan kepada seseorang utk berwudhu krn menyentuh para wanita .”Beliau juga berkata: “Telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar dan Al-Hasan bahwa menyentuh di sini dengan tangan dan ini merupakan pendapat sekelompok salaf. Adapun apabila menyentuh wanita tersebut dgn syahwat tidaklah wajib berwudhu karenanya namun apabila dia berwudhu perkara tersebut baik dan disenangi utk memadamkan syahwat sebagaimana disenangi berwudhu dari marah utk memadamkannya. Adapun menyentuh wanita tanpa syahwat maka aku sama sekali tidak mengetahui adanya pendapat dari salaf bahwa hal itu membatalkan wudhu.” Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Pendapat yg rajih adl menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak sama saja baik dgn syahwat atau tidak dgn syahwat kecuali bila keluar sesuatu darinya . Bila yg keluar mani maka wajib baginya mandi sementara kalau yg keluar madzi maka wajib baginya mencuci dzakar-nya dan berwudhu.” Dalil dari As-Sunnah yg menunjukkan bahwa bersentuhan dgn wanita tidaklah membatalkan wudhu di antaranya:Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:كُنْتُ أَناَمُ بَيْنَ يَدَي رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلَيَّ، فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهَا“Aku pernah tidur di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan kedua kaki di arah kiblat beliau maka bila beliau sujud beliau menyentuhku hingga aku pun menekuk kedua kakiku. Bila beliau berdiri aku kembali membentangkan kedua kakiku.” Aisyah radhiallahu ‘anha juga mengabarkan:فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ يَقُوْلُ: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ وَبِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ لاَ أُحْصِي ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ“Suatu malam aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku.

Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yg sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya {dalam keadaan sujud} dan sedang berdoa: Ya Allah aku berlindung dgn keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dan dgn maaf-Mu dari hukuman-Mu. Dan aku berlindung kepada-Mu dari-Mu aku tidak dapat menghitung pujian atas-Mu Engkau sebagaimana yg Engkau puji terhadap diri-Mu.” 2. MuntahDi antara ulama ada yg berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang utk berwudhu dgn dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan: “Aku berjumpa dgn Tsauban di masjid Damaskus maka aku sebutkan hal itu padanya Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda benar akulah yg menuangkan air wudhu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yg sengaja.” Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini mudhtharib tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” . Asy- Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: “Hadits-hadits yg diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu krn muntah adalah lemah semuanya tidak dapat dijadikan hujjah.” {ta’liq beliau dinukil dari Ta’liqat Ar- Radhiyyah 1/174}2Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:- Di antara mereka ada yg berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah dgn syarat muntah itu berasal dari dalam perut memenuhi mulut dan keluar sekaligus. Al-Imam At-Tirmidzi t berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan utk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri Ibnul Mubarak Ahmad dan Ishaq.

Sementara sebagian ahlul ilmi yg lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu krn muntah dan mimisan demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i. - Adapun ulama yg lain seperti 7 imam yg faqih dari Madinah Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu baik sedikit ataupun banyak kecuali bila yg keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. {Nailul Authar 1/268 Asy-Syarhul Mumti’ 1/234}. Inilah pendapat yg rajih dan menenangkan bagi kami.

Mereka berdalil sebagai berikut:1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yg menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.2. Sucinya orang yg berwudhu dinyatakan dgn pasti oleh kandungan dalil syar‘i maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya {menyatakan hilang/ membatalkannya} kecuali dgn dalil syar‘i.3. Hadits yg dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama.4. Apa yg ditunjukkan dalam hadits ini adl semata-mata fi‘il sedangkan yg semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yg wajib. Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah batal wudhu dgn keluarnya sesuatu dari selain dua jalan seperti pendarahan darah yg keluar krn berbekam muntah dan mimisan sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.3 Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas Ibnu ‘Umar Ibnu Abi Aufa Jabir Abu Hurairah ‘Aisyah Ibnul Musayyab Salim bin Abdillah bin ‘Umar Al-Qasim bin Muhammad Thawus ‘Atha Mak-hul Rabi’ah Malik Abu Tsaur dan Dawud. Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in.” {Al- Majmu’ 2/63}Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail Al-Kubra beliau berpendapat hukumnya di sini adl sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. {Tamamul Minnah hal. 111 112}Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:مَنْ أَصَابَهَ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذِيٌ فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ..“Siapa yg ditimpa muntah mimisan qalas4 atau madzi hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.” Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits krn tiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yg dia itu orang Hijaz.

Juga krn para perawi yg meriwayatkan dari Ibnu Juraij –yang mereka itu adl para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara mursal {menyelisihi periwayatan Isma’il yg meriwayatkannya secara ittishal – pen.} sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yg mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz- Dzuhli Ad-Daruquthni dalam kitab Al-’Ilal begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata hadits ini dha’if. {Nailul Authar 1/269}Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau men- dha’if-kan hadits ini 3. Darah yg keluar dari tubuhDarah yg keluar dari tubuh seseorang selain kemaluannya tidaklah membatalkan wudhu sama saja apakah darah itu sedikit ataupun banyak. Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas Ibnu Abi Aufa Abu Hurairah Jabir bin Zaid Ibnul Musayyab Mak-hul Rabi’ah An-Nashir Malik dan Asy- Syafi’i. . Dan ini pendapat yg rajih menurut penulis. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.Dari kalangan ahlul ilmi ada yg membedakan antara darah sedikit dgn yg banyak. Bila keluarnya sedikit tidak membatalkan wudhu namun bila keluarnya banyak akan membatalkan wudhu. Hal ini seperti pendapat Abu Hanifah Al-Imam Ahmad dan Ishaq. Adapun dalil bahwa darah tidak membatalkan wudhu adl hadits tentang seorang shahabat Al- Anshari yg tetap mengerjakan shalat walaupun darahnya terus mengalir krn luka akibat tikaman anak panah pada tubuhnya {HR. Al-Bukhari secara mu‘allaq dan secara maushul oleh Al- Imam Ahmad Abu Dawud dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud no. 193}Seandainya darah yg banyak itu membatalkan wudhu niscaya shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dilarang utk mengerjakan shalat dan akan disebutkan teguran dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas shalat yg ia kerjakan tersebut dan akan diterangkan kepadanya atau siapa yg bersamanya. Karena mengakhirkan penjelasan/ penerangan pada saat dibutuhkan penerangannya tidaklah diperbolehkan. Mereka para shahabat radhiallahu ‘anhum sering terjun ke dalam medan pertempuran hingga badan dan pakaian mereka berlumuran darah. Namun tidak dinukilkan dari mereka bahwa mereka berwudhu karenanya dan tidak didengar dari mereka bahwa perkara ini membatalkan wudhu. {Sailul Jarar 1/262 Tamamul Minnah hal. 51-52}Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab wal ilmu ‘indallah.1 Seperti dalam ayat: “Wahai orang-orang yg beriman apabila kalian menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kalian menceraikan mereka sebelum kalian menyentuh mereka maka tidak ada kewajiban bagi mereka utk menjalani iddah.” Ayat ini jelas sekali menunjukkan bahwa menyentuh yg dikaitkan dgn wanita maka yg dimaksudkan adl jima’.2 Di antara imam ahlul hadits ada juga yg menguatkan hadits ini seperti Ibnu Mandah dan Asy- Syaikh Al-Albani di Tamamul Minnah beliau mengatakan sanadnya shahih 3 Adapun permasalahan yg disebutkan di sini juga merupakan perkara yg diperselisihkan ahlul ilmi sebagaimana disebutkan sendiri oleh Al-Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu‘ .4 Qalas adl muntah yg keluar dari tenggorokan bukan dari perut.

sumber : file chm Darus Salaf 2

http://blog.re.or.id/pembatal-pembatal-wudhu-fiqih.htm

Pingbox Aku

rc="http://wgweb.msg.yahoo.com/badge/Pingbox.swf" width="220" height="400" flashvars="wid=iKS8UXe6UWtB_8ptVHmUeiIZGl_0jg--" allowScriptAccess="always" />

Pengikut